Selasa, 11 Desember 2012



Pentingnya Mendahulukan Dakwah Teologis
Oleh: Kholili Hasib
 
Dalam konteks sekarang dimana pemikiran postmodern mendominasi kaum liberal dan aliran sesat disokong atas nama HAM, diskursus tentang tauhid hendak direduksi. Bahkan jika perlu wacana ketuhanan dibuang total. Sebab, metafisika dan ketuhanan bagi kaum postmo diyakini ilusi yang memenjarakan. Dukungan muslim liberal terhadap 150 paguyuban aliran kepercayaan untuk dijadikan agama resmi, menolak Peraturan Bersama Mendagri&Menbudpar No 43–41 Tahun 2009,  dan menolak pembubaran Ahamdiyah tempo hari hanya didasarkan atas HAM, bukan hukum Tuhan.
Jargon HAM sendiri yang mengacu pada Deklarasi DUHAM pada 1948 sarat paham humanisme, dan memarginalisasi agama. Deklarasi itu menolak aspirasi agama.
Dekonstruksi Konsep Ketuhanan
Mendekonstruksi konsep Tuhan dan marginalisasi agama itu benihnya telah lama ditanam August Comte (1798-1857). Ia pernah memplokamirkan berakhirnya babak pembicaraan tentang teologi dan agama. Penyembahan total kepada Tuhan dan membicarakan metafisika dianggap kuno. Gantinya adalah sains. Tapi masalahnya, sains Barat tidak bebas nilai. Paradigma sains ikut bercerai dengan teologi.
Sebagai gantinya, nilai humanisme dinaikkan menjadi standar utama – menggantikan hukum Tuhan. Tesis Augus Comte ini diamini Mohamed Arkoun, pemikir muslim Liberal asal Aljazair. Syari’at katanya adalah produk immaginaire social (angan-angan sosial) fuqaha’, yang bernuansi ideologisasi sektarian. Dalam konteks komodernan, Tuhan sudah absen. Manusia yang aktif. Fikih dilepaskan dari tauhid. Sehingga  visi, perbuatan, pembicaraan, dan prilaku spiritual manusia itulah sesungguhnya yang menggantikan absennya Tuhan (Rethinking Islam;Common Question Uncommon Answer, 29).
Memang, filsafat postmodern itu mencurigai agama dan ‘mematikan’ Tuhan. Karena itu, konsep ketuhanan diharuskan untuk didekonstruksi. Agama adalah sumber konflik kata Jack Nelson (Is Relligion Killing Us?,104). Ludwig Feuerbach (1804-1872 mengatakan: “Theologie is Anthropologie” (Antropologi Filsafat,Manusia Paradoks dan Seruan,145).
Muslim liberal, mengapresiasi dengan mengatakan syariah itu produk manusia. Mereka masih malu-malu mengatakan Tuhan telah ‘mati’, tidak selugas Friedrich W Nietzsche (1844-1900) yang terang-terang mengaku ‘membunuh’ Tuhan.
Padahal ‘dakwah’ Islam Liberal sesunggunya sama saja dengan Nietzsche dan August Comte. Sama-sama mendekonstuksi konsep Tuhan. Pernyataan syariah itu produk manusia sebenarnya berarti, Tuhan itu absen mengatur manusia. Akibatnya, manusia bisa shalih tanpa taat hukum syari’at. Seorang feminis liberal pernah ‘berfatwa’ seorang lesbian bisa menjadi muslimah shalihah dengan mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa harus melepaskan statusnya sebagai lesbian.
Makanya, mereka ngotot membebaskan aliran-aliran sesat, atas nama HAM. Karena ikatan hukum  Islam itu dicurigai tidak memihak kepada emansipasi manusia. Jika tidak dibuang, syari’ah dibelokkan maknanya dengan logika sekular. Dua-duanya sama, melepaskan syariah dengan akidah. Sehingga antara wilayah ushul dan furu’ tidak ada bedanya. Konsep Tsawabit tidak dikenal lagi. Makanya, syari’at mereka sesunnguhnya adalah humanisme, Tuhannya adalah rasio dan kitab sucinya adalah sejarah atau realita empirik.
Dakwah Teologis
Jika dakwah liberal mendekonstruksi konsep Tuhan seperti tersebut, maka strategi dakwah Islam dalam konteks seperti ini perlu berorientasi kapada dakwah teologis. Barangkali akidah lebih dahulu diajarkan sebelum syari’ah. Sebab, teologi menjadi sasaran utama invasi pemikiran. Metode dakwah yang perlu untuk kalangan yang menjadi sasaran invasi adalah dakwah teologi bukan syariah.
Para muballigh perlu mengenalkan konsep Tuhan dengan berbagai aspek ketuhanan lainnya. Konsep ketuhanan berdasarkan pandangan hidup Islam. Inilah yang dilakukan para Nabi SAW. Seperti diterangkan dalam firman Allah SWT: “Tidaklah Kami utus sebelum engkau seorang rasul kepada satu umat dari umat-umat yang ada wahai Muhammad melainkan Kami wahyukan kepada bahwa tidak ada sesembahan di langit dan bumi yang benar penyembahan kepada kecuali hanya Aku. maka sembahlah Aku ikhlaskan ibadah hanya untuk-Ku sendirikan Aku dalam uluhiyyah.”(QS.Al-Anbiya’:25).
Tujuan utama dari sebab diutus para nabi dan rasul adalah mengajak seluruh makhluk untuk mengenal Allah SWT sebagai sumber kebenaran dan membimbing mereka menuju sesuatu yang mengatur kehidupan dunia serta memperbaiki hari di saat mereka kembali. Mereka sama dlm pokok ajaran ini meskipun berbeda-beda dalam cabang syariah.
Dakwah teologis didahulukan karena ini adalah hal paling mendasar. Jika seorang  mengamalkan ibadah mahdlah, namun di sisi lain tidak meyakini kesesatan orang kafir, maka ibadahnya gugur. Begitu pula jika dia rajin shalat akan tetapi percaya bahwa tuhan orang Budha, Hindu, Yahudi dan Kristen itu sama dengan tuhan Islam, maka shalatnya tidaklah membawa manfaat. Kekeliruan itu semua bermula dari kesalahpahaman memaknai konsep ketuhanan Allah SWT.
Konsep ketuhanan adalah konsep paling elementer dalam akidah Islam. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan bahwa konsep Tuhan adalah elemen nomor satu dari pandangan hidup Islam. Pemahaman yang benar tentang konsep Tuhan, menurutnya, akan berpengaruh terhadap keshahihan konsep-konsep lainnya, seperti konsep wahyu, konsep agama, konsep manusia, konsep ilmu, konsep kebahagiaan dan lain sebagainya.
Selain itu, dakwah teologis ini juga merupakan metode tepat untuk para penganut kepercayaan. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi mengatakan metode dakwah untuk penganut aliran kepercayaan adalah pendekatan teologis (tauhid), bukan syariat. Pasalnya, penganut aliran kepercayaan sangat konsen pada masalah ketuhanan. Bagi mereka, syariat itu tidak ada artinya tanpa hakikat (www.cybersabili.com 31 Maret 2011).
Dalam persoalan ini strategi dakwah bertujuan mengimankan pemikiran. Mengimankan di sini adalah mengenalkan konsep yang benar tentang Tuhan sesuai dengan tingkat intelektual mereka. Bagi yang masih awam, kata Imam al-Ghazali tidak perlu sampai mendetail filosofis. Cukup pokok-pokoknya sebagai pembentengan. Mengimankan pemikiran tidak cukup dengan mengenalkan konsep Tuhan, tapi juga aspek teologis lainya, seperti konsep wahyu, nabi, konsep agama dan lain-lain dengan strategi yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan.
Ketika pendidikan multikulturalisme yang mengusung relativisme marak, maka pendekatan teologis dalam setiap mata pelajaran perlu dilakukan. Pendekatan ini lebih mendasar dengan mengedepankan konsep tauhid dalam bahasa yang sederhana sesuai tingkat kemampuan pelajar. Pendekatan ini lebih memanusiakan manusia. Menempatkan manusia sebagai hamba yang beriman.
inpasonline.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar