Pentingnya
Mendahulukan Dakwah Teologis
Oleh: Kholili Hasib
Dalam
konteks sekarang dimana pemikiran postmodern mendominasi kaum liberal dan
aliran sesat disokong atas nama HAM, diskursus tentang tauhid hendak direduksi.
Bahkan jika perlu wacana ketuhanan dibuang total. Sebab, metafisika dan
ketuhanan bagi kaum postmo diyakini ilusi yang memenjarakan. Dukungan muslim
liberal terhadap 150 paguyuban aliran kepercayaan untuk dijadikan agama resmi,
menolak Peraturan Bersama Mendagri&Menbudpar No 43–41 Tahun 2009, dan
menolak pembubaran Ahamdiyah tempo hari hanya didasarkan atas HAM, bukan hukum
Tuhan.
Jargon HAM sendiri yang mengacu pada
Deklarasi DUHAM pada 1948 sarat paham humanisme, dan memarginalisasi agama.
Deklarasi itu menolak aspirasi agama.
Dekonstruksi Konsep Ketuhanan
Mendekonstruksi konsep Tuhan dan
marginalisasi agama itu benihnya telah lama ditanam August Comte (1798-1857).
Ia pernah memplokamirkan berakhirnya babak pembicaraan tentang teologi dan
agama. Penyembahan total kepada Tuhan dan membicarakan metafisika dianggap
kuno. Gantinya adalah sains. Tapi masalahnya, sains Barat tidak bebas nilai.
Paradigma sains ikut bercerai dengan teologi.
Sebagai gantinya, nilai humanisme
dinaikkan menjadi standar utama – menggantikan hukum Tuhan. Tesis Augus Comte
ini diamini Mohamed Arkoun, pemikir muslim Liberal asal Aljazair. Syari’at
katanya adalah produk immaginaire social (angan-angan sosial) fuqaha’,
yang bernuansi ideologisasi sektarian. Dalam konteks komodernan, Tuhan sudah
absen. Manusia yang aktif. Fikih dilepaskan dari tauhid. Sehingga visi,
perbuatan, pembicaraan, dan prilaku spiritual manusia itulah sesungguhnya yang
menggantikan absennya Tuhan (Rethinking Islam;Common Question Uncommon
Answer, 29).
Memang, filsafat postmodern itu
mencurigai agama dan ‘mematikan’ Tuhan. Karena itu, konsep ketuhanan diharuskan
untuk didekonstruksi. Agama adalah sumber konflik kata Jack Nelson (Is
Relligion Killing Us?,104). Ludwig Feuerbach (1804-1872 mengatakan: “Theologie
is Anthropologie” (Antropologi Filsafat,Manusia Paradoks dan Seruan,145).
Muslim liberal, mengapresiasi dengan
mengatakan syariah itu produk manusia. Mereka masih malu-malu mengatakan Tuhan
telah ‘mati’, tidak selugas Friedrich W Nietzsche (1844-1900) yang
terang-terang mengaku ‘membunuh’ Tuhan.
Padahal ‘dakwah’ Islam Liberal
sesunggunya sama saja dengan Nietzsche dan August Comte. Sama-sama
mendekonstuksi konsep Tuhan. Pernyataan syariah itu produk manusia sebenarnya
berarti, Tuhan itu absen mengatur manusia. Akibatnya, manusia bisa shalih tanpa
taat hukum syari’at. Seorang feminis liberal pernah ‘berfatwa’ seorang lesbian
bisa menjadi muslimah shalihah dengan mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan,
tanpa harus melepaskan statusnya sebagai lesbian.
Makanya, mereka ngotot membebaskan
aliran-aliran sesat, atas nama HAM. Karena ikatan hukum Islam itu
dicurigai tidak memihak kepada emansipasi manusia. Jika tidak dibuang, syari’ah
dibelokkan maknanya dengan logika sekular. Dua-duanya sama, melepaskan syariah
dengan akidah. Sehingga antara wilayah ushul dan furu’ tidak ada
bedanya. Konsep Tsawabit tidak dikenal lagi. Makanya, syari’at mereka
sesunnguhnya adalah humanisme, Tuhannya adalah rasio dan kitab sucinya adalah
sejarah atau realita empirik.
Dakwah Teologis
Jika dakwah liberal mendekonstruksi
konsep Tuhan seperti tersebut, maka strategi dakwah Islam dalam konteks seperti
ini perlu berorientasi kapada dakwah teologis. Barangkali akidah lebih dahulu
diajarkan sebelum syari’ah. Sebab, teologi menjadi sasaran utama invasi
pemikiran. Metode dakwah yang perlu untuk kalangan yang menjadi sasaran invasi
adalah dakwah teologi bukan syariah.
Para muballigh perlu mengenalkan konsep
Tuhan dengan berbagai aspek ketuhanan lainnya. Konsep ketuhanan berdasarkan
pandangan hidup Islam. Inilah yang dilakukan para Nabi SAW. Seperti diterangkan
dalam firman Allah SWT: “Tidaklah Kami utus sebelum engkau seorang rasul
kepada satu umat dari umat-umat yang ada wahai Muhammad melainkan Kami wahyukan
kepada bahwa tidak ada sesembahan di langit dan bumi yang benar penyembahan
kepada kecuali hanya Aku. maka sembahlah Aku ikhlaskan ibadah hanya untuk-Ku
sendirikan Aku dalam uluhiyyah.”(QS.Al-Anbiya’:25).
Tujuan utama dari sebab diutus para
nabi dan rasul adalah mengajak seluruh makhluk untuk mengenal Allah SWT sebagai
sumber kebenaran dan membimbing mereka menuju sesuatu yang mengatur kehidupan
dunia serta memperbaiki hari di saat mereka kembali. Mereka sama dlm pokok
ajaran ini meskipun berbeda-beda dalam cabang syariah.
Dakwah teologis didahulukan karena ini
adalah hal paling mendasar. Jika seorang mengamalkan ibadah mahdlah,
namun di sisi lain tidak meyakini kesesatan orang kafir, maka ibadahnya gugur.
Begitu pula jika dia rajin shalat akan tetapi percaya bahwa tuhan orang Budha,
Hindu, Yahudi dan Kristen itu sama dengan tuhan Islam, maka shalatnya tidaklah
membawa manfaat. Kekeliruan itu semua bermula dari kesalahpahaman memaknai
konsep ketuhanan Allah SWT.
Konsep ketuhanan adalah konsep paling
elementer dalam akidah Islam. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan bahwa
konsep Tuhan adalah elemen nomor satu dari pandangan hidup Islam. Pemahaman
yang benar tentang konsep Tuhan, menurutnya, akan berpengaruh terhadap
keshahihan konsep-konsep lainnya, seperti konsep wahyu, konsep agama, konsep
manusia, konsep ilmu, konsep kebahagiaan dan lain sebagainya.
Selain itu, dakwah teologis ini juga
merupakan metode tepat untuk para penganut kepercayaan. Dr. Hamid Fahmy
Zarkasyi mengatakan metode dakwah untuk penganut aliran kepercayaan adalah
pendekatan teologis (tauhid), bukan syariat. Pasalnya, penganut aliran
kepercayaan sangat konsen pada masalah ketuhanan. Bagi mereka, syariat itu
tidak ada artinya tanpa hakikat (www.cybersabili.com 31
Maret 2011).
Dalam persoalan ini strategi dakwah
bertujuan mengimankan pemikiran. Mengimankan di sini adalah mengenalkan konsep
yang benar tentang Tuhan sesuai dengan tingkat intelektual mereka. Bagi yang
masih awam, kata Imam al-Ghazali tidak perlu sampai mendetail filosofis. Cukup
pokok-pokoknya sebagai pembentengan. Mengimankan pemikiran tidak cukup dengan
mengenalkan konsep Tuhan, tapi juga aspek teologis lainya, seperti konsep
wahyu, nabi, konsep agama dan lain-lain dengan strategi yang disesuaikan dengan
tingkat pendidikan.
Ketika pendidikan multikulturalisme
yang mengusung relativisme marak, maka pendekatan teologis dalam setiap mata
pelajaran perlu dilakukan. Pendekatan ini lebih mendasar dengan mengedepankan
konsep tauhid dalam bahasa yang sederhana sesuai tingkat kemampuan pelajar.
Pendekatan ini lebih memanusiakan manusia. Menempatkan manusia sebagai hamba
yang beriman.
inpasonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar