Kamis, 01 Desember 2011

Quo Vadis Pendidikan Agama Islam ?


QUO VADIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ?
Tren dan Tantangan Terkini


Irwan Supriadin J.[1]

Abstrak :
Memasuki abad ke-21, dunia dihadapkan pada modernitas serta globalisasi yang telah membawa manusia ke dalam alam digital tanpa batas dan mereformasi gaya hidup mereka di segala aspek kehidupan. Arus komunikasi dan informasi yang selalu mudah diakses dengan cepat telah mempertemukan face to face berbagai ras, bahasa, budaya, dan agama manusia yang heterogen dalam suatu interaksi multidimensional tanpa bisa dibendung lagi. Sayangnya, fakta yang muncul dalam interaksi ini banyak diwarnai dengan maraknya anarkis, konflik horizontal antar etnis, antar agama, serta ta’asub berlebihan. Sehingga bisa dikatakan, bahwa masyarakat masih belum siap dan belum memiliki pemahaman yang komprehensif tentang pola hidup masyarakat yang heterogen dan multikultural.
Hal ini juga ternyata sudah menembus dinding-diding kelas di berbagai lembaga dan satuan pendidikan di Indonesia. Pelajaran Agama sebagai pelajaran yang dianggap menjadi “senjata pamungkas” untuk membentuk akhlaq anak didiknya ternyata sudah tidak mampu membuktikan eksistensinya. Bahkan para pendidiknya sudah terkesan “mati gaya” untuk menginternalisasikan nilai-nilai keragaman dan kemajemukan dalam pelajaran yang diajarnya. Karena itu, kerjasama aktif antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan guru mutlak diperlukan untuk menformulasikan kurikulum ajar yang lebih konprehensif dan universal  serta mampu meningkatkan sumber daya manusia secara lebih optimal, agar anak-anak bangsa siap menghadapi tantangan zaman kedepan yang pastinya lebih berat lagi.

Kata kunci : Quo vadis – Pendidikan - PAI




Pendahuluan
Globalisasi sebagai akibat revolusi industri komunikasi dan informasi kini berimplikasi pada berbagai aspek kehidupan manusia, pesatnya arus informasi ibarat air bah yang mempercepat proses perpindahan manusia antar wilayah yang berbeda, sehingga peristiwa yang terjadi di suatu wilayah dapat disaksikan di wilayah yang berbeda dalam waktu yang relatif bersamaan.
Sentuhan tren globalisasi telah menggeser berbagai style dalam kehidupan manusia dengan berbagai kompleksitasnya menjadi serba mudah dan instan, ibarat mata uang logam globalisasi di satu sisi berdampak positif bagi terciptanya kreativitas dan peningkatan produktifitas kehidupan manusia, namun di sisi lain globalisasi melahirkan keterbukaan dalam relasi dan pergaulan antarbudaya. Perputaran arus informasi yang begitu cepat seringkali tidak diimbangi dengan pemahaman yang mendalam, hal tersebut menyebabkan “pincangnya” informasi yang berkembang mengenai suatu kebudayaan tertentu.
Pesatnya perkembangan arus informasi, komunikasi, dan transportasi juga berimplikasi pada semakin terasa menyempitkan ruang gerak manusia menuju wilayah yang berbeda, hal tersebut meniscayakan terjadinya interaksi dan saling mengenal antarbudaya yang berbeda, namun di satu sisi gejala ini tidak diimbangi dengan pemahaman lintas budaya yang memadai sehingga seringkali interaksi antarbudaya menimbulkan shock cultural yang berujung pada sikap apriori dalam melihat perbedaan.
Dunia dalam perspektif global diibaratkan sebagai sebuah melting pot yang terdiri dari beragam aspek yang bersifat kompleks, di dalamnya terdiri dari berbagai latar belakang manusia lengkap dengan berbagai problematikanya. globalisasi dengan berbagai implikasinya pada akhirnya menuntut setiap orang untuk berfikir, bersikap dan bertindak secara rasionalisme dan profesionalisme.[2]
  Pendidikan sebagaimana didefinisikan banyak ahli, bertujuan “memanusiakan” manusia, melalui tahapan atau jenjang yang disusun secara sistematis.  tujuan mulia itu merupakan nilai yang menjadi spirit yang menjadi roh penggerak bagi.  
Isu konflik antarbudaya, merupakan isu penting yang kini menggejala di berbagai wilayah nusantara, isu ini nyaris setiap hari mengisi headline berita-berita di media massa Indonesia, kedua isu tersebut seolah diskursus menjadi tren terkini yang selalu aktual untuk diperbincangkan,
Konflik budaya pada dasarnya bukanlah persoalan baru dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia yang terkenal sebagai bangsa majemuk yang memiliki beragam tradisi dan budaya[3] hubungan antarkawasan dan antaretnis serta hubungan antar kelompok masyarakat yang acapkali berlatar belakang agama yang berbeda menimbulkan gejala baru yang memerlukan pendekatan baru dalam apa yang belakangan ini populer dalam wacana pluralisme dan multikulturalisme.[4]
Realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, idealnya disikapi positif sebagai khazanah serta kekayaan budaya bangsa yang mesti dipelihara eksistensinya.
Setiap budaya memiliki nilai-nilai yang dianut dan diyakini sebagai nilai yang mutlak (absolut value), perbedaan dan keragaman inilah yang belakangan menjadi problem dalam kehidupan masyarakat Indonesia, euphoria reformasi dan kebebasan berekspresi yang cenderung bablas akhirnya menjadikan cita-cita reformasi menjadi bias, reformasi seharusnya dimaknai sebagai keterbukaan dan kebebasan yang terkontrol, namun dalam realita faktualnya, reformasi dijadikan sebagai alat untuk menjustifikasi kebebasan untuk menyingkirkan “budaya lain” dalam panggung kehidupan.
Melihat banyaknya lahir konflik antar etnis dan budaya di Indonesia yang eskalasinya cenderung meningkat, maka guru sebagai praktisi pendidikan memiliki tanggung jawab moral untuk dapat mereformulasikan kembali metode dan tujuan pembelajaran berbasis pendidikan multikultural yang tidak hanya menekankan pada aspek penajaman intelektual semata, namun disamping itu menekankan dalam upaya melahirkan peserta didik yang memiliki kecerdasan dan (meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan) kesalehan sosial.
Berangkat dari permasalahan di atas, maka Tulisan ini akan menyoroti tentang urgensi peranan guru pendidikan agama dalam menanamkan sikap multikulturalisme terhadap peserta didik, guna memberikan pemahaman tentang kemajemukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Geliat wacana pendidikan multikultural[5] yang selalu diperbincangkan kalangan ahli pendidikan terinsprasi dari keprihatinan tentang rumitnya tata laksana relasi antar budaya di Indonesia, perbedaan budaya acap kali dimaknai sebagai “ancaman” sehingga seringkali menimbulkan kecurigaan yang lahir dari sikap etnosentrisme.[6]
Sebagaimana diungkapkan oleh Syamsun Ni’am Setidaknya ada dua alasan pokok mengapa pendidikan multikultural menjadi begitu penting untuk diterapkan di Indonesia, yaitu: (1) kemajemukan budaya, etnisitas, faham, dan religi yang terdapat dalam masyarakat, dan (2) kecenderungan tatanan  masyarakat masa depan dengan cirinya, yakni era globalisasi.[7]

Menggugat sistem Pendidikan Agama Islam
Guru dalam sistem mata rantai pendidikan Islam merupakan tokoh kunci bagi terlaksananya sebuah proses transformasi keilmuan, eksistensi guru diibaratkan sebagai lokomotif penggerak gerbong keilmuan, guru merupakan profesi yang amat berat karena bertugas membina dan mencetak otak manusia, posisi ini kemudian menempatkan guru sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya guru diberikan otonomi yang lebih luas dalam melaksanakan berbagai tugas, fungsi dan kewajibannya, sehingga tidak lagi harus terpaku pada pola-pola yang dibakukan (sentralisasi), seperti berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menyebabkan kreativitas guru menjadi terpasung.
Dalam konteks keragaman budaya dan agama, maka tugas dan fungsi guru tidak hanya terbatas sebagai transformer keilmuan an sich, namun lebih jauh berfungsi sebagai agen perubahan dalam menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme dan pluralisme.[8] Guru dalam perspektif pendidikan multikultural dituntut memiliki kearifan dalam memberikan pencerahan dan mampu menumbuhkan rasa kebersamaan serta kesetaraan di antara peserta didiknya.
Bila dibaca secara seksama kurikulum pendidikan agama yang berlaku di Indonesia, belum sepenuhnya mengakomodir materi sesuai dengan realitas sosial empirik masyarakat Indonesia yang plural, baik dari latar belakang agama, etnik, ras maupun budaya, maka kekhawatiran akan makin menebalnya sikap ekslusivisme peserta didik dalam melihat pemeluk agama lain dapat menjadi sangat beralasan.
Untuk itu, guru dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya bertumpu pada niat semata-mata sebagai rutinitas untuk menggugurkan kewajiban, akan tetapi harus dibarengi dengan proses kreatif dan inovatif guna mengembangkan materi ajar yang mencakup aspek-aspek relasi antarbudaya guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia peserta didiknya, dengan menjadikan konsep agama dan multikultural sebagai sandaran utamanya. Dengan demikian, maka kreativitas guru dalam meracik dan mengemas pembelajaran multikultural menjadi begitu , mengingat eksistensi pendidikan multikultural sendiri belum terintegrasi secara formal dalam sistem kurikulum pendidikan nasional.

Kenapa Multikultural ?
Out put pendidikan agama sejatinya bertujuan melahirkan insan yang mampu beradaptasi dan berdialektika dengan realitas kehidupan sosial yang beragam, Pendidikan agama dalam tataran teoritis memiliki dan dilengkapi dengan nilai-nilai luhur sesuai dengan nilai transendental yang termaktub dalam kitab suci.      
 Dengan implementasi pendidikan berbasis multikultural ini diharapkan siswa sebagai generasi penerus bangsa memiliki pemahaman yang integral dan komprehensif dalam pergaulan antarbudaya sebagai bekal yang positif dalam rangka membangun relasi dalam kehidupan sehari-hari.
Ditilik dari realitas empiris, proses pendidikan yang berjalan selama ini belum sepenuhnya mampu menjawab kegelisahan masyarakat terhadap maraknya perkelahian antar remaja dan konflik sosial antarbudaya yang seringkali dipicu oleh hal-hal sepele, fenomena ini menjadi fakta empiris bahwa ada sesuatu yang absurd dalam pengajaran Pendidikan Agama Islam.  
Padahal pengajaran pendidikan agama sebagaimana disebutkan dalam kurikulum 1994 bahwa tujuan pendidikan agama Islam di sekolah umum adalah:
“Meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan siswa tentang agama Islam dan bertakwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.”
Bila diberi penafsiran, maka tujuan pengajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah tidak hanya mengajarkan aspek-aspek ibadah yang menyangkut hamblumminallah, akan tetapi sekaligus memuat tentang aspek hubungan hambumminnas antarsesama manusia dengan semangat yang inklusif  dan setara tanpa memandang latar belakang budaya dan agama apapun. 
Berangkat dari fakta di atas, maka keberagaman budaya yang menjadi identitas bagi bangsa Indonesia menuntut profesionalisme guru Pendidikan Agama Islam untuk mampu memodifikasi teknik maupun metode penyampaian agar materi yang disampaikan tidak membuat siswa menjadi bosan karena pembahasan yang sering berulang-ulang.
Kautsar Azhari Noer mensinyalir bahwa gagalnya sistem pendidikan Agama Islam dalam meredakan berbagai konflik lebih diakibatkan oleh :
Pertama, Penekanan proses pendidikan lebih besar pada aspek transformasi ilmu  (transfer of knowledge) agama ketimbang transformasi dan internalisasi nilai-nilai (transfer of value) keagamaan dan moral kepada anak didik untuk membimbingnya agar menjadi manusia yang berkepribadian kuat dan berakhlak mulia.
Kedua, kurangnya penekanan pada nilai-nilai moral seperti kasih sayang, rasa cinta, tolong menolong, toleransi, tenggang rasa, menghormati perbedaan pendapat dan sikap-sikap lain yang mampu mendukung dan menciptakan hubungan yang harmonis antarsesama manusia, meskipun berbeda etnis, agama dan budaya, tanpa mengabaikan nilai-nilai tauhid, dan keimanan, maka nilai-nilai moral yang dapat menciptakan hubungan yang harmonis perlu ditekankan melalui pendidikan agama.
Ketiga, kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain. Padahal sebagai penganut agama yang baik, mestinya kita harus mengetahui dan mempelajari agama-agama lain meskipun dalam batas-batas tertentu.
Pandangan Kautsar Azhari Noer di atas patut dijadikan sebagai bahan evaluasi dan instropeksi mengenai efektivitas pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah yang disampaikan oleh Guru Agama yang berjalan selama ini

Urgensi Pendidikan Multikultural di Sekolah Dasar dan Lanjutan
Sistem pendidikan agama kini menjadi bahan sorotan dan bahkan dianggap tidak berdaya karena belum mampu mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama, padahal dalam masyarakat pluralistik seperti Indonesia yang sedang mengalami proses transformasi budaya, sosial dan politik sangat diperlukan adanya sikap toleransi terhadap hak budaya, hak sipil dan hak politik untuk semua komponen masyarakat sehingga integrasi sosial dan politik baik yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horizontal dapat terpelihara dengan baik.
Pendidikan agama sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Ali lebih sering dilihat dari seberapa banyak hapalan kitab suci dan pengetahuan tata cara ritual.[9] Dari pernyataan di atas, maka paradigma pendidikan agama yang berlangsung selama ini masih menekankan pada masih bernuansa tekstualis dan menggunakan takaran yang bersifat sangat normatif.
Pendidikan agama, meminjam istilah M. Amin Abdullah baru mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kesalehan individual, namun di satu sisi belum sepenuhnya mampu melahirkan generasi yang memiliki kesalehan sosial yang dapat memberikan warna bagi relasi antarabudaya dalam kehidupan sosial masyarakat.[10]
Melalui pengajaran dengan pendekatan multikulturalisme di harapkan siswa mampu mendefinisikan keberadaan dirinya dan orang lain yang berbeda dengannya dengan menekankan pada kemaslahatan kehidupan beragama, setidaknya ada beberapa hal pokok yang patut diimplementasikan kepada setiap guru agama di sekolah.
Pertama, guru sebagai pendidik memiliki peranan dalam memberikan pencerahan kepada peserta didik sebagai upaya menginternalisasikan nilai-nilai universal doktrin agama ke dalam sanubari, untuk itu diperlukan upaya untuk melatih guru pendidikan agama agar menguasai teknik-teknik dalam memperkenalkan dalam mengelola relasi sosial yang majemuk sehingga ajaran agama dapat dimaknai sebagai faktor integratif dalam kehidupan sosial.
Kedua, diperlukan upaya yang sistematis dan terkoordinasi dengan berbagai lembaga pendidikan dan kemasyarakatan sebagai upaya impelementasi praktis terhadap konsep yang telah dipelajari di sekolah, selain itu pendidik memiliki tanggung jawab moral untuk bersama-sama dengan pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan generasi yang dapat memberikan kesepahaman antarbudaya.
Ketiga, menumbuhkan kesadaran kepada siswa tentang keniscayaan keberagaman budaya dan agama dengan memberikan pemahaman yang bebas dari bias dan prasangka negatif terhadap budaya dan agama yang berbeda.
Berangkat dari pemahaman di atas, maka sekolah dan guru merupakan satu kesatuan yang menjadi bagian integral dalam sebuah proses pendidikan dan menjadi garda terdepan dalam upaya membangun sikap kebersamaan dalam keberagaman budaya dan agama.
Pendidikan multikultural yang menekankan pada pemahaman antara budaya pada akhirnya bertujuan untuk meminimalisir potensi bagi lahirnya diskriminasi, sikap diskriminasi ini pula pada yang kenyataannya seringkali membatasi kelompok-kelompok tertentu untuk mendapatkan akses dalam bidang politik, ekonomi dan budaya dalam pergaulan sosial.
Selanjutnya pendidikan multikultural memiliki misi guna menanamkan pemahaman sejak dini kepada siswa agar memahami budaya beserta kompleksitasnya yang melekat secara inheren, oleh karena itu guru sebagai pendidik harus mampu memberikan penjelasan agar siswa memahami bahwa kebudayaan merupakan bagian yang melekat pada diri setiap masyarakat tertentu, sebab kebudayaan merupakan hasil dari pergulatan masyarakat dengan lingkungan dimana ia berada, oleh karena itu menolak perbedaan budaya sama artinya dengan menafikan eksistensi sebuah masyarakat.
Dalam pendidikan multikultural menumbuhkan kesadaran untuk hidup berdampingan menjadi penting karena hal itu merupakan jaminan bagi terwujudnya kebersamaan dalam keberagaman (unity in diversity), kesadaran akan keberagaman merupakan sikap positif dalam relasi antar manusia.
Hal penting yang patut disadari bahwa menumbukan kesadaran akan keberagaman menjadi begitu urgen dalam upaya meminimalisir konflik horizontal dan upaya tersebut tentu saja harus terus dipupuk dengan mengadakan berbagai event atau kegiatan-kegiatan intra maupun ekstrakurikuler yang bersifat positif guna melatih siswa agar dapat bekerja secara kolektif dalam sebuah kelompok yang terdiri dari individu yang berlatar belakang berbeda.
Setidaknya ada beberapa tahapan yang dapat dilakukan oleh sekolah dan guru dalam generasi multikultural di antaranya :
a.      Menghilangkan stigma negatif terhadap suatu budaya tertentu, sikap ini harus dimulai dari mengeliminasi berbagai bentuk stigma terhadap sikap dan prilaku yang dapat membangkitkan sensitifitas antar budaya.
b.     Memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai  eksistensi suatu budaya beserta aspek-aspek yang melingkupinya, dalam hal ini maka guru dituntut memiliki wawasan yang lebih luas guna membantu siswa dalam menanamkan pemahaman yang tidak parsial
c.      Memberikan kesempatan kepada setiap individu agar dapat mengakses bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan  yang berifat asasi baik sandang, pangan maupun papan.   
d.     Membiasakan dan memberikan teladan untuk saling pengertian dan menghormati perbedaan melalui pendekatan pembelajaran kelompok (Cooperative Learning) yang terdiri dari individu yang berlatar belakang berbeda guna menumbuhkan kebersamaan (togetherness).
e.      Sekolah dan guru tidak terpaku pada penafsiran tekstual terhadap nash agama tentang relasi sosial yang belum sepenuhnya mengakomodir wacana keberagaman dalam konteks situasi kekinian

Pendidikan merupakan investasi jangka panjang bagi sebuah bangsa, kemajuan bangsa amat ditentukan oleh kepedulian terhadap pendidikan itu sendiri, tugas pendidikan sendiri tidak hanya sebagai wadah transformamsi keilmuan semata, namun lebih jauh harus mampu menjadi wahana bagi pembentukan generasi yang memiliki wawasan multikultural yang dapat hidup berdampingan dan memiliki sikap toleransi, empati serta mengenyampingkan perasaan curiga dan buruk sangka.
Bila hal tersebut dapat diwujudkan, maka ajaran agama pada akhirnya dapat menampakkan wajahnya yang ramah melalui proses aktualisasi dan internalisasinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai jawaban bagi konsep rahmatan lil alamin





DAFTAR PUSTAKA


Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, Yogyakarta: PSAP, 2005.

Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Hilderd Geertz, Indonesia Cultures and Communities, dalam Ruth T. Mc Vey,  New Haven: Yale University Press, 1963.
 
Josep A. Devito, Komunikasi Antarmanusia, Jakarta: Profesional Books. 1997.

Syamsun Ni’am, Islam dan Pendidikan Multikultur dI Indonesia (Menggagas Pendidikan ber-Wawasan Kebangsaan yang Egaliter, Humanis, dan Inklusif) Jurnal Fitrah. Bima: P3M STIT Sunan Giri Bima, 2010.

M. Ainul Yaqin, M.Ed., Pendidikan Multikultural : Cross Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Muhammad Ali, Teologi Pluralis Multikultural : Menghargai Kemajemukan menjalin Kebersamaan, Jakarta: Buku Kompas, 2003.

Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Erlangga, 2005.


[1] Penulis adalah Dosen STIT Sunan Giri Bima
[2] Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Lihat Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[3] Bangsa Indoensia merupakan bangsa yang memiliki komposisi etnis yang sangat beragam, keberagaman itu ditandai dengan banyak jumlah ras, adat istiadat, agama serta kepercayaan, keberagaman tersebut tentu saja akan melahirkan berbagai macam sistem sosial yang diekspresikan dan diapresiasikan sesuai dengan kondisi maupun keadaan sosial masyarakat setempat. Dengan demikian tatanan sosial maupun adat istiadat suatu masyarakat tidak terlepas dari pengaruh sistem sosial yang dipegang bersama. Hilderd Geertz melukiskan kemajemukan bangsa Indonesia seperti diungkakannya “ terdapat lebih dari 300 kelompok etnis yang berbeda-beda di Indonesia maing-masing dengan identitas budayanya sendiri-sendiri, dan lebih dari 250 bahasa daerah dipakai, dan hampir semua agama-agama penting diwakili, selain agama-agama asli yang banyak jumlahnya. Lihat Hilderd Geertz, Indonesia Cultures and Communities, dalam Ruth T. Mc Vey (New Haven: Yale University Press, 1963), 24.      
[4] Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, (Jakarta: PSAP, 2005), 178.
[5] Pendidikan Multikultural adalah cara untuk mengajarkan keragaman, pandangan bahwa setiap kebudayaan memiliki nilai dan kedudukan yang sama dengan setiap kebudayaan lain, sehingga setiap kebudayaan berhak mendapatakan tempat sebagaimana kebudayaan lainnya. Lihat Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005), 4.
[6] Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk mengevaluasi nilai, kepercayaan dan prilaku dalam kultur sendiri sebagai lebhi baik, lebih logis dan lebih wajar ketimbang dalam kultur lain. Selanjutnya Lihat Josep A. Devito Komunikas antarmanusia, (Jakarta: Professional Books, 1997), 477.
[7] Syamsun Ni’am, Islam dan Pendidikan Multikultur di Indonesia (Menggagas Pendidikan ber-Wawasan Kebangsaan yang Egaliter, Humanis, dan Inklusif) Jurnal Fitrah (Bima: P3M STIT Sunan Giri Bima, 2010),  74.
[8] M. Ainul Yaqin, M.Ed., Pendidikan Multikultural : Cross Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 5.
[9] Muhammad Ali, Teologi Pluralis Multikultural : Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Buku Kompas, 2003), 101.
[10] Lihat Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, (Yogyakarta: PSAP, 2005), 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar