“Aku adalah Engkau yang kucinta dan Dia yang
kucinta adalah aku. Kami adalah dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika
engkau lihat aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia engkau lihat
Kami.”
AL-HALLAJ, MANSUR (Persia 244 H/858
M-Baghdad, 24 Zulkaidah 309/26 Maret 922). Nama lengkapnya ialah Abu al-Mugis
Husain bin Mansur al-Hallaj. Sejak kecil al-Hallaj mulai belajar membaca
Al-Qur’an hingga ia berhasil menjadi hafiz (penghapal Al-Qur’an). Ia mengenal
dan mempelajari tasawwuf pertama kali dari seorang sufi yang bernama Sahl
at-Tustari.
Al-Hallaj terkenal sebagai seorang sufi
yang gemar berkelana ke ber bagai daerah. Dari berkelan a ia dapat berguru pada
para sufi kenamaan pada masa itu.Di Basra ia berguru pada Amr Makki. Di Baghdad
ia berguru pada tokoh sufi modern dan termasyhur, al-Junaid al-Baghdadi.
Selanjutnya ia ke Mekah dan tinggal di pelataran Masjidilharan seraya melakukan
praktek
kesufiannya. Di sinilah ia mengaku telah mengalami pengalaman mistik yang luar biasa yang kemudian terkenal dengan hulul.
kesufiannya. Di sinilah ia mengaku telah mengalami pengalaman mistik yang luar biasa yang kemudian terkenal dengan hulul.
Al-Hallaj kemudian menetap di kota
Baghdad sambil menyebarkan ajaran tasawwuf. Namun pada tahun 922 ia dijatuhi
hukuman mati oleh penguasa Dinasti Abbasiyah dengan tuduhan membawa paham yang
menyesatkan. Selain itu ia dituduh pula mempunyai hubungan dengan Syiah
Qaramitah, suatu kelompok Syiah garis keras yang dipmpin oleh Hamdan bin Qarmat
yang menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak abad ke-10 sampai abad
ke-11.
Ajaran tasawwuf al-Hallaj terkenal
dengan paham hulul, yaitu Tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia itu betul-betul
berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya. Menurut al-Hallaj,
Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-lahut
(sifat ketuhanan) dan an-nasut
(sifat kemanusiaan). Manusia juga mempunyai dua sifat dasar yang sama. Oleh
karena itu antara Tuhan dan mannusia mempunyai kesamaan sifat, sehingga
persatuan antara Tuhan dan mannusia itu mungkin terjadi.
Untuk
melenyapkan an-nasut, seorang hamba
harus memperbanyak ibadah. Bila usaha untuk melenyapkan sifat ini berhasil maka
yang tinggal di dalam dirinya hanya sifat al-lahut.
Pada saat itulah sifat an-nasut Tuhan
turun dan masuk ke dalam tubuh seorang sufi, hingga terjadilah hulul.
Peristiwa ini hanya terjadi sesaat.
Penyatuan roh Tuhan dan roh manusia dilukiskan oleh al-Hallaj di dalam sebuah
syairnya: “Jiwa-Mu disatukan dengan
jiwaku, sebagaimana anggur dicampur dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang
menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam setiap keadaan
Engkau adalah aku.” Di dalam syairnya yang lain al-Hallaj melukiskan
sebagai berikut: “Aku adalah Engkau yang
kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku. Kami adalah dua roh yang bersatu dalam
satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia
engkau lihat Kami.”
Ketika peristiwa hulul sedang
berlangsung, keluarlah syatahat
(kata-kata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi ‘Ana al-Haqq’ (Aku adalah Yang Maha Benar). Sebagian orang
menganggap al-Hallaj kafir karena ia mengaku dirinya Tuhan. Namun sebagian pula
menganggapnya bahwa al-Hallaj mengalami ekstase yang tinggi akibat pertemuan
dengan Tuhannya.
Pertanyaannya, kafirkah al-Hallaj
dengan adanya ucapan ’Ana al-Haqq’ yang
artinya Aku adalah Yang Maha Benar ? Lalu bagaimana dengan Nabi Muhammad SAW,
yang ketika turun ayat kepadanya terlontar ucapan Tuhan dari lidahnya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada
Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk
mengingat Aku (Q.S: 20/14).
Jika al-Hallaj mengucapkan kalimat Ana al-Haqq dalam keadaan sadar jasmani,
bukan sadar ruhani, maka pasti dapat dikatakan bahwa al-Hallaj telah
‘kafir’ seperti firaun yang mempertuhankan dirinya. Akan tetapi jika al-Hallaj
dalam keadaan fana atau kehilangan kesadaran jasmaninya akibat diliputi dan
dikuasai oleh Ruhaniahnya, sehingga al-Hallaj mengeluarkan ucapan syatahat karena ekstase yang tinggi,
maka situasi al-Hallaj dapat disamakan dengan situasi Nabi Muhammad SAW ketika
mengeluarkan firman Allah dari lidahnya, Aku
adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Lisan al-Hallaj hanya digunakan
oleh Allah seperti lisan Nabi Muhammad SAW.
Syair al-Hallaj justru inilah yang
seharusnya menjadi polemik karena ditulis dan diucapkan dalam keadaan sadar
jasmani. “Jiwa-Mu disatukan dengan
jiwaku, sebagaimana anggur dicampur dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang
menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam setiap keadaan
Engkau adalah aku.” Di dalam syairnya yang lain al-Hallaj melukiskan
sebagai berikut: “Aku adalah Engkau yang
kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku. Kami adalah dua roh yang bersatu dalam
satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia
engkau lihat Kami.”
Ketika al-Hallaj menuliskan syairnya
ini ia sadar sepenuhnya bahwa apa yang ia tulis itu adalah dirinya yang bersatu
dengan Tuhan, atau menyakini bahwa dia adalah Tuhan sebagaimana syairnya, jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
maka al-Hallaj wajib dihukum pancung karena ia telah menyebarkan agama yang
sesat. Lain halnya jika al-Hallaj mengucapkannya dalam keadaan tak berdaya
akibat rengkuhan kasih Ilahi sehingga terlontar ucapan penyatuan yang dianggap syatahat, maka penguasa yang
memancungnya harus bertanggung jawab di hadapan Ilahi atas perbuatannya.
(dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar