Selasa, 11 Desember 2012

Esensi Puasa

 Puasa ibaratkan sebuah latihan atau pendidikan bagi jiwa. Shaum juga ternyata merupakan metode terapi penyakit kejiwaan dan penyakit fisik. Puasa berfungsi sebagai pengontrol sarana untuk mencegah sikap dan tingkah laku kita yang tidak terpuji. Puasa mampu menjaga ruh, hati, dan tubuh dari segala macam penyakit.

Dalam pandangan agama, puasa dapat dijadikan sarana untuk lebih bertakarub kepada Allah. Sedangkan, secara psikologis, puasa erat kaitannya dengan kesehatan mental karena dapat dijadikan kontrol yang dapat mencegah kita dari sikap keji dan mungkar. Puasa juga dapat digunakan untuk melepaskan diri dari perasaan bersalah dan dosa serta dari perasaan depresi atau penyakit kejiwaan lainnya.

Puasa merupakan salah satu perintah dari Allah, tetapi puasa besar manfaatnya sebagai pengendalian diri. Pengendalian akan mengantarkan manusia pada kebebasan berperilaku di luar “kebiasaan” yang membatasi sikap kita supaya tidak berlebihan. Kebutuhan fisik maupun psikis manusia harus dapat dikendalikan atau dibatasi selama berpuasa. Hal itu akan terasa berat bagi orang yang belum terbiasa. Namun, berpuasa akan terasa ringan dengan latihan dan pembiasaan.

Selan itu, puasa dapat melatih kesabaran. Itu karena orang yang berpuasa akan dapat mengendalikan diri. Emosi yang ada dalam diri dapat diatur melalui berpuasa. Hal itu dapat membuat hidup kita lebih matang, konsisten, dan jujur. Puasa juga dapat mengusir kesedihan, melahirkan rasa empati, dan dapat memberikan kenikmatan ruhiyah serta ketenangan. Puasa dilakukan untuk mendapatkan keridaan Allah. Jika motivasi puasa tersebut dilakukan sematamata karena Allah, mereka akan melaksanakannya tanpa beban.

Puasa sekaligus berfungsi sebagai kontrol dan pencegahan untuk melakukan tindakan yang dilarang. Nafsu dapat dikekang dan dikendalikan dengan pendidikan dan pelatihan sejak dini, sedangkan jika masih timbul keraguan, permasalahan tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan Alquran dan hadis. Sebagai contoh, hubungan seksual bebas (free sex) itu ada dan banyak yang melakukannya, namun dalam agama Islam tidak diperbolehkan.

Ajaran moral
Menurut Psikolog Universitas Indonesia (UI) Dadang Hawari, pesan puasa secara moral mengajarkan kita supaya dapat berbuat baik, tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga dapat mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar.

Sebagaimana apabila Anda merasa stres dan depresi, jadikanlah shalat dan sabar untuk memperoleh ketenangan. ”Orang yang dapat mengendalikan diri itu merupakan orang yang sehat mentalnya sebab peperangan terbesar bagi manusia itu adalah perang melawan hawa nafsu,” tutur Dadang.

Puasa dapat berarti menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkannya dengan niat yang tulus karena Allah SWT. Itu karena puasa berfungsi sebagai penyucian, pembersihan, dan penjernihan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan akhlak tercela. Puasa juga dapat untuk melatih kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional.

Kepribadian manusia diumpamakan seperti fenomena gunung es. Hal itu karena bagian permukaan gunung saja yang dapat terlihat, sedangkan bagian dasarnya tidak terlihat. Secara psikologis, manusia mempunyai id, ego, dan superego. Dengan demikian, tidak ada seseorang yang mengetahui secara utuh seseorang lainnya karena yang diketahuinya secara parsial.

Jika dilihat dari kedudukannya, id merupakan nafsu manusia yang muncul sebagai dorongan yang tak tampak dalam diri manusia. Ego berfungsi menyeimbangkan antara id dan superego, sedangkan superego merupakan kontrol manusia atau sesuatu yang dapat menahan manusia melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh agama.

Id bisa diumpamakan sebagai nafsu, sedangkan superego merupakan iman manusia (puasa) atau bisa berupa tatanan moral, norma, dan etika. Hal itu karena ada nilainilai yang boleh dilakukan oleh manusia dan ada nilai-nilai yang dilarang terkait halal dan haram.

Puasa yang dilakukan manusia diharapkan mampu difungsikan untuk mengendalikan diri dari ‘id’ yang berupa dorongan-dorongan naluriah dalam diri manusia, seperti rasa lapar, haus, dan kebutuhan biologis lainnya. Seseorang bisa mengendalikan “id” dengan membiarkan “superego” menguasai diri. Hal itu bisa dicapai dengan sikap iman, Islam, dan ihsan.

Dadang menjelaskan, kebiasaan berpuasa harus ditanamkan sejak balita sesuai dengan kemampuannya karena dengan kebiasaan ini akan tertanam nilai-nilai tersebut dalam dirinya. Anak-anak akan mencontoh perilaku yang dicontohkan oleh orang tuanya. Nilai-nilai keteladanan itu akan membekas


Republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar